PENGANTAR
PUISI BERBAHASA MADURA
Di penghujung november 1997 sahabat mudaku, IBNU HAJAR, datang bertandang kerumahbersama ahabat setianya RB. IBNU SABETA. Saya pun maklum, kedatangannya kali ini untuk menagih janjiku, ikut serta mengisi kumpulan puisinya, puisi berbahasa Madura “ nyelbi’ enemor kara”, produksi GHOT ( Generasi Harapan Orang Tua ), sebuah organisai remaja yang di pimpinnya. Belum sempat duduk di kursi tuaku, naskah yang telah di siapkan saya berikan kepadanya.
Dari percakapan dengan sahabat mudaku ini, saya baru mengerti bahwa ;
- Dia baru saja datang dari yogya, dan langsung menjumpai saya tanpa langsung pulang kerumahnya telebih dahulu.
- Dia telah datang dari TIM Jakarta, untuk mempresentasikan puisi-puisi hail karyanya.
- Di Jakarta dia telah berkenalan dengan bapak Ikrar nagara, seorang sastrawan ,budayawan,dosen terkenal di Indonesia.
Dan
- Dia menyampaikanpula kepada beliau, bahwa puisi-puisi berbahasa Madura ada, dan salah satunya adalah karangan saya. Beliau pun tertarik hendak memilikinya dan hendak di cetak, setidak-tidaknya akan dijadikan dokumentasi perpustakaan di Jakarta.
Kelanjutan dari kunjungan sahabat mudaku ini, saya pun segera mengetik ulang puisi-puisi karyaku, yang terserak-serak dalam buletin konkonan dan yang lainnya lagi. Akhirnya jadilah sebuah kumpulan puisi, yang saya beri judul “Rarengganna Tana Kerreng”. Kalau diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti “ Perhiasan Tanah Gersang”.
Sambil mengetik ulang puisi-puisiku ini, saya bertanya pada diriku, apakah karyaku ini puisi?. Sayapun mencoba menjawab sendiri, teka-teki ini dengan bahasa ibuku,
Puisi : “ angen se salengka’ e bai’ dhalem, angen se gi’ reket e talempo’anna ate, angen se talempet enlepeddenna sokma, meltas-meltes apangka’ okara, abali’lar nalar gancaran, aleceng araket okara kakanthen,
Ngaloskos aba’ tasangsang e brangtana, marangko aba’ talompet e sepsebbanna, nengteng aba’ talempet ereba’anna “.
Dalam bahasa Indonesianya :
Puisi : “ Kenangan yang menghadang di bgian dalam, kenangan yang melekat rekat di lubuk hati, kenangan yang terhimpit di lipatan sukma,lepas landas menari-nari dalam kalimat, muncrat berlari di tataran prosa, berjingkrak merakit-rangkai kalimat bersajak, menciumi awak terluluh dalam cintanya, merangkul awak lumat dalam susuannya,awakpun tertating pulas di haribaannya “.
Kesimpulan :
Puisi : “ kenangan yang bergaung dalam sukma, melejit kepemukan,lepas landas dari lem-lem perekat yang bersemayam di kalbu., menari berdendang dalam kalimat-kalimat puitis “.
Kalau begitu, karyaku ini juga puisi. Teka-teki batin terjawab, sebatas remang-remang senja yang masih bergumul dengan diriku.
Bahasa dan sastra Madura masih hidup di kalangan penuturnya, baik dilingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Karya sastra berupa prosa, puisi, dan drama/ teather dalam bentuk dongeng, cerita, tembang, pantun, syair, peribahasa, parikan dll. Masih dapat kita jumpai. Naskah-naskah atau pustaka lama masih kita temukan atau tercatat. Sebagian lagi baik penutur maupun luar penutur seperti peneliti, budayawan, seniman dll, masih ada yang menyempatkan dirinya memperhatikan kehidupan bahasa dan sastra Madura. Demikian pula untuk mengembangkan bahasa Madura melalui radio pemerintah atau swasta, masih memberi kesempatan menggunakan bahasa madura. Buletin Konkonan produk Tim Pembina Bahasa Madura ( Tim Nabara )Sumenep, satu-satunya media cetak yang mengiformasikan kebahasamaduaraan, di Sumenep ( mungkin di Jawa Timur ) masih terus di terbitkan ( sekarng edisi 51 ) Bahasa Madura masih diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ( SD,SLTP?MTs ) dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok ), walaupun dalam jam-jam pelajaran yang sangat sedikit.
Beberapa kendala yang perlu kita renungkan bersama antara lain :
- Adanya sikap mental negatif di antara penuturnya terhadap Bahasa Madura.
- Kurangnya pakar
- Belum memiliki media yang kuantitas dan kualitasnya seimbang dengan keinginan dan ............ tradisi sastra yang makin memudar.
Sastra lisan lok-alok dalam karapan sapi telah jarang dijumpai. Puisi mainan anak-anak seperti “dhi-padhi cemplo’, jang-kolarjang,ti’titti’ liya leyo dsb. sudah kurang digemari, apalagi puisi-puisi ritual yang digunakan dalam upacara pantil, cahhe,ratep,pojiyan dsb. hanya tinggal kenangan.
Barangkali D.Zawawi Imran menjuduli sastra makalah sastra Maduranya : “ yang hilang belum berganti perlu kita cermati dan selanjutnya perlu kita ganti dengan suasana beru seirama dengan kebaruan masyarakat Madura masa kini“. Barangkali buku tipis ini sedikit menjawab pertanyaan beliau (D.Zawawi Imran ).
Mesin ketik terus berketak-ketik berbarengan dengan munculnya ngiang-ngiang ucapan orang bijak atau pakar, pemerhati, peneliti dsb. tentang Bahasa Madura.
- Penggalian sastra lisan Berbahasa Madura sangatlah perlu. Sastra ini seperti sastra lisan bahasa daerah lainnya yang sekarang ini diancam kepunahan. Orang- orang tua yang menyimpan perbendaharaan sastra lisan itu sudah banyak yang meninggal sedangkan generasi sesudahnya tidak mau mewariskannya. Bahasa Daerah memang tak menarik di Indonesia ini, lebih-lebih dari segi komersial dan gengsi. Hal yang demikian saya kira banyak merugikan diri kita sendiri (DR. Suripan Sadi Hutomo-1981)
- Sajak yang ditulis orang dalam Bahasa Madura dan Bali itu, sekarang ini tidak dapat tumbuh dan bekembang lagi, sebab kedua majalah itu sudah tidak mempunyai majalah dan surat kabar lagi yang dapat menampung pertumbuhan dan berkembangnya (Amran Halim- 1976)
- Bahasa Madura terutam Sastra Madura terasa mengalami stagnasi, mandek, kehilngn vitalitas dan dinamikanya dan menuju kearah kepunahan (DR.A. Syukur Ghazali, 1988)
- Gejala yang ada sekarang, sastra Madura tampak lesu kehilangan vitalitas dan dinamikanya dan menuju ke arah kepunahan (M. Hariyadi dkk, 1981).
Kalau mereka sais barangkali itulah pecut agar si kuda berlari kencang
Kalau mereka pemelihara kebun barangkali itulah setimba air agar si bunga tidak layu
Kalau mereka penyiram semangat itulah siraman semangat agar kelesuan kehilangan vitalitas kemandekan dsb. diganti semangat baru
Tetapi ......, kenyataan yang kita hadapi demikian adanya.
Barangkali “ Rarenggenna Tanah Kerreng” dan “nyelbi’ E Nemor Kara”inilah sebagai embrio dalam melahirkan karya-karya puisi kontemporer berikutnya.
Beberapa karya Sastra banyak di tulis oleh para pujangga Madura melalui Balai Pustaka, Medan Bahasa Madura (yogya), Mingguan Harapan, Koran Pelita, Moncar (Surabaya),Colok (Sampang),Nanggala (Sampang), Panggudi (Pamekasan), Sumenep Ekspres (Sumenep), Pajjar (Sumenep) dsb. semuanya tinggal kenangan bahkan bekas-bekasnya pun tidak tersimpan lagi.
Kini tinggal Buletin Konkonan ( Tim Nabara Sumenep ) sejak 1990 sampai sekarangmasih bertahan, walaupun lebih banyak duka dari pada sukanya.
Kehadiran buku tipis ini barangkali beberapa pihak terketuk pula untuk ikut berkiprah di dalamnya, terutama tentunya kepada bapak Ikrarnagara.
Kurang lebihnya mohon maaf dan selanjutnya kepada tuhan jualah kami bererah diri.
Penulis
Arach Djamaly
ASAR MABA
Ebara’ langnge’na ngadarbang
Ngeyase gir sereng gunong se tenggi
Cajana nyennengagi
Tata’anna berse tor maperna
Ngeyas caja ngoker bang-abang
Alamma eparas snneng tor asre
Kapencot ate bula
Jellingngagi caja aar maba
Emanna adhu eman, aman
Ja’ aggi’ dhika elang
Eman
Dhari mata pon samar
Ta’ kobass aba’ bula
Se badhi alanglang
E bara’ langnge’na pon sorem
Cajana se asre elang laonan
Jai aggi’ badhi ngerrem
Dinggalagi berta tor ngen-angen
1966
COMPET BULAN
Compet bulan compet bulan
Caja elang para’ seyang
Adhu eman adhu eman
Sajja nemang ta’ katekkan
E ereng kongko’ pajanten
Mano’ kwace badhi nonton
Katengalan dhika mesem
Slera pocet samar katon
Pajjar nyongsong
Para’ seyang badhi elang
Ta’ kenneng langlang
Ta’ kenneng langlang
Elang laonan
Compet bulan are seyang
Jagatnata badhi rabu
Dhari mata dhika elang
Para’ seyang gante laggu
1967
PARA’ SEYANG
Para’ seyang sengko’ jaga
Abareng kongko’na ajam
Ajam dibi’ ban tatangga
Nongko’ e bungkana gajam
Kongko’na patang sambit
Kukkurunno’..... kukkurunno’
Are ngorno’ .... are ngorno’
Ngajak aba’ duli bngket
Eselselle adan sobbu
Nyebbut asmana allahu
Dhari masjit dhari langgar
Padha moji allahu akbar
1987
KEMBHANG MALATHE
Tang malathe molae ngembang
Badha se mekko badha se mekkar
Tombu e seddi’na labang
Patamanan arum sekkar
Ro’om asreddhengngan
Mossa’e patamanan
Bernana pote tor ngetthak pole
Sengko’ senneng tor komenak pole
Sekkar pote
Epetthega
Sasemba’an
Dha’ tresna ate
1987
BA’ PONAPA SE E BALESSAGIYA
Tamba taon aba’ tamba dibasa
Aba’ apangrasa
Ja’ pamertena rama ebu
Sanget taronggu
Naleka aba’ gi’ kanak
Ta’ essa eopene
Ta’ metong baras tor sake’
Eburuk tengka beccek
Kapprana odhi’ neng e dunnya
Apol-kompol bi’ sa-sama
Sopaja aba’ ta’ malang sara
Arompak pakonna allah
Adu rama, adu ebu
Ba’ ponapa se ebalessagiya???
1987
DHU’ REMMEK
Bang gaddhing
Ekolpat gan salambar
Abarbar
Bang malathe
Gan sabulir
Ejirjir
Pote mekko
Dhu’ remmek eceyom
Ro’om
Dhu’ remmek esergu’
Nagguk
Mabiluk rengsana ate
Man-ngoman
Ta’ nyaman
Ceyerran
Marepot pekker
Gan salambar
Gan sabulir
Elop
Lo’lo’ alerok
Gan salambar gaggar
Gan sabulir ale’jir
Katopowan abu
Pekkerra pakebu
1987
ASARE PANGLEPORRA ATE
Aba’ atendak, dhu.... me’ sajan jau
Jang-bajangan lobar esergu’ pettengnga malem
Areng-ngereng bi’ dhatengnga rese’
Katonna nanemang dha’ ka aba’
Tembang kasmaran akanthe’ kejung ram-eram
Poncana sagara esareya, dhu e dhimma enggunna
Aba’ ngalosot e cellana bato karang
Ekaloskos omba’ se nambek ka gir sereng
Aba’ nyacak alembak kadibi’an
Nangeng, dhu, seppe
Me’ ce’ rengsana ate
Dhu langnge’ ban bume
Ba’ edhimma tresnana ate se tasangsang
Aba’ asare jemjemma sokma
Badhi panglepor pekker se rengsa
1987