Minggu, 09 Agustus 2009

PUISI MADURA

PENGANTAR

PUISI BERBAHASA MADURA

Di penghujung november 1997 sahabat mudaku, IBNU HAJAR, datang bertandang kerumahbersama ahabat setianya RB. IBNU SABETA. Saya pun maklum, kedatangannya kali ini untuk menagih janjiku, ikut serta mengisi kumpulan puisinya, puisi berbahasa Madura “ nyelbi’ enemor kara”, produksi GHOT ( Generasi Harapan Orang Tua ), sebuah organisai remaja yang di pimpinnya. Belum sempat duduk di kursi tuaku, naskah yang telah di siapkan saya berikan kepadanya.

Dari percakapan dengan sahabat mudaku ini, saya baru mengerti bahwa ;

  • Dia baru saja datang dari yogya, dan langsung menjumpai saya tanpa langsung pulang kerumahnya telebih dahulu.
  • Dia telah datang dari TIM Jakarta, untuk mempresentasikan puisi-puisi hail karyanya.
  • Di Jakarta dia telah berkenalan dengan bapak Ikrar nagara, seorang sastrawan ,budayawan,dosen terkenal di Indonesia.

Dan

  • Dia menyampaikanpula kepada beliau, bahwa puisi-puisi berbahasa Madura ada, dan salah satunya adalah karangan saya. Beliau pun tertarik hendak memilikinya dan hendak di cetak, setidak-tidaknya akan dijadikan dokumentasi perpustakaan di Jakarta.

Kelanjutan dari kunjungan sahabat mudaku ini, saya pun segera mengetik ulang puisi-puisi karyaku, yang terserak-serak dalam buletin konkonan dan yang lainnya lagi. Akhirnya jadilah sebuah kumpulan puisi, yang saya beri judul “Rarengganna Tana Kerreng”. Kalau diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti “ Perhiasan Tanah Gersang”.

Sambil mengetik ulang puisi-puisiku ini, saya bertanya pada diriku, apakah karyaku ini puisi?. Sayapun mencoba menjawab sendiri, teka-teki ini dengan bahasa ibuku,

Puisi : “ angen se salengka’ e bai’ dhalem, angen se gi’ reket e talempo’anna ate, angen se talempet enlepeddenna sokma, meltas-meltes apangka’ okara, abali’lar nalar gancaran, aleceng araket okara kakanthen,

Ngaloskos aba’ tasangsang e brangtana, marangko aba’ talompet e sepsebbanna, nengteng aba’ talempet ereba’anna “.

Dalam bahasa Indonesianya :

Puisi : “ Kenangan yang menghadang di bgian dalam, kenangan yang melekat rekat di lubuk hati, kenangan yang terhimpit di lipatan sukma,lepas landas menari-nari dalam kalimat, muncrat berlari di tataran prosa, berjingkrak merakit-rangkai kalimat bersajak, menciumi awak terluluh dalam cintanya, merangkul awak lumat dalam susuannya,awakpun tertating pulas di haribaannya “.

Kesimpulan :

Puisi : “ kenangan yang bergaung dalam sukma, melejit kepemukan,lepas landas dari lem-lem perekat yang bersemayam di kalbu., menari berdendang dalam kalimat-kalimat puitis “.

Kalau begitu, karyaku ini juga puisi. Teka-teki batin terjawab, sebatas remang-remang senja yang masih bergumul dengan diriku.

Bahasa dan sastra Madura masih hidup di kalangan penuturnya, baik dilingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Karya sastra berupa prosa, puisi, dan drama/ teather dalam bentuk dongeng, cerita, tembang, pantun, syair, peribahasa, parikan dll. Masih dapat kita jumpai. Naskah-naskah atau pustaka lama masih kita temukan atau tercatat. Sebagian lagi baik penutur maupun luar penutur seperti peneliti, budayawan, seniman dll, masih ada yang menyempatkan dirinya memperhatikan kehidupan bahasa dan sastra Madura. Demikian pula untuk mengembangkan bahasa Madura melalui radio pemerintah atau swasta, masih memberi kesempatan menggunakan bahasa madura. Buletin Konkonan produk Tim Pembina Bahasa Madura ( Tim Nabara )Sumenep, satu-satunya media cetak yang mengiformasikan kebahasamaduaraan, di Sumenep ( mungkin di Jawa Timur ) masih terus di terbitkan ( sekarng edisi 51 ) Bahasa Madura masih diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ( SD,SLTP?MTs ) dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok ), walaupun dalam jam-jam pelajaran yang sangat sedikit.

Beberapa kendala yang perlu kita renungkan bersama antara lain :

  1. Adanya sikap mental negatif di antara penuturnya terhadap Bahasa Madura.
  2. Kurangnya pakar
  3. Belum memiliki media yang kuantitas dan kualitasnya seimbang dengan keinginan dan ............ tradisi sastra yang makin memudar.

Sastra lisan lok-alok dalam karapan sapi telah jarang dijumpai. Puisi mainan anak-anak seperti “dhi-padhi cemplo’, jang-kolarjang,ti’titti’ liya leyo dsb. sudah kurang digemari, apalagi puisi-puisi ritual yang digunakan dalam upacara pantil, cahhe,ratep,pojiyan dsb. hanya tinggal kenangan.

Barangkali D.Zawawi Imran menjuduli sastra makalah sastra Maduranya : “ yang hilang belum berganti perlu kita cermati dan selanjutnya perlu kita ganti dengan suasana beru seirama dengan kebaruan masyarakat Madura masa kini“. Barangkali buku tipis ini sedikit menjawab pertanyaan beliau (D.Zawawi Imran ).

Mesin ketik terus berketak-ketik berbarengan dengan munculnya ngiang-ngiang ucapan orang bijak atau pakar, pemerhati, peneliti dsb. tentang Bahasa Madura.

  • Penggalian sastra lisan Berbahasa Madura sangatlah perlu. Sastra ini seperti sastra lisan bahasa daerah lainnya yang sekarang ini diancam kepunahan. Orang- orang tua yang menyimpan perbendaharaan sastra lisan itu sudah banyak yang meninggal sedangkan generasi sesudahnya tidak mau mewariskannya. Bahasa Daerah memang tak menarik di Indonesia ini, lebih-lebih dari segi komersial dan gengsi. Hal yang demikian saya kira banyak merugikan diri kita sendiri (DR. Suripan Sadi Hutomo-1981)
  • Sajak yang ditulis orang dalam Bahasa Madura dan Bali itu, sekarang ini tidak dapat tumbuh dan bekembang lagi, sebab kedua majalah itu sudah tidak mempunyai majalah dan surat kabar lagi yang dapat menampung pertumbuhan dan berkembangnya (Amran Halim- 1976)
  • Bahasa Madura terutam Sastra Madura terasa mengalami stagnasi, mandek, kehilngn vitalitas dan dinamikanya dan menuju kearah kepunahan (DR.A. Syukur Ghazali, 1988)
  • Gejala yang ada sekarang, sastra Madura tampak lesu kehilangan vitalitas dan dinamikanya dan menuju ke arah kepunahan (M. Hariyadi dkk, 1981).

Kalau mereka sais barangkali itulah pecut agar si kuda berlari kencang

Kalau mereka pemelihara kebun barangkali itulah setimba air agar si bunga tidak layu

Kalau mereka penyiram semangat itulah siraman semangat agar kelesuan kehilangan vitalitas kemandekan dsb. diganti semangat baru

Tetapi ......, kenyataan yang kita hadapi demikian adanya.

Barangkali “ Rarenggenna Tanah Kerreng” dan “nyelbi’ E Nemor Kara”inilah sebagai embrio dalam melahirkan karya-karya puisi kontemporer berikutnya.

Beberapa karya Sastra banyak di tulis oleh para pujangga Madura melalui Balai Pustaka, Medan Bahasa Madura (yogya), Mingguan Harapan, Koran Pelita, Moncar (Surabaya),Colok (Sampang),Nanggala (Sampang), Panggudi (Pamekasan), Sumenep Ekspres (Sumenep), Pajjar (Sumenep) dsb. semuanya tinggal kenangan bahkan bekas-bekasnya pun tidak tersimpan lagi.

Kini tinggal Buletin Konkonan ( Tim Nabara Sumenep ) sejak 1990 sampai sekarangmasih bertahan, walaupun lebih banyak duka dari pada sukanya.

Kehadiran buku tipis ini barangkali beberapa pihak terketuk pula untuk ikut berkiprah di dalamnya, terutama tentunya kepada bapak Ikrarnagara.

Kurang lebihnya mohon maaf dan selanjutnya kepada tuhan jualah kami bererah diri.

Penulis

Arach Djamaly

ASAR MABA

Ebara’ langnge’na ngadarbang

Ngeyase gir sereng gunong se tenggi

Cajana nyennengagi

Tata’anna berse tor maperna

Ngeyas caja ngoker bang-abang

Alamma eparas snneng tor asre

Kapencot ate bula

Jellingngagi caja aar maba

Emanna adhu eman, aman

Ja’ aggi’ dhika elang

Eman

Dhari mata pon samar

Ta’ kobass aba’ bula

Se badhi alanglang

E bara’ langnge’na pon sorem

Cajana se asre elang laonan

Jai aggi’ badhi ngerrem

Dinggalagi berta tor ngen-angen

1966

COMPET BULAN

Compet bulan compet bulan

Caja elang para’ seyang

Adhu eman adhu eman

Sajja nemang ta’ katekkan

E ereng kongko’ pajanten

Mano’ kwace badhi nonton

Katengalan dhika mesem

Slera pocet samar katon

Pajjar nyongsong

Para’ seyang badhi elang

Ta’ kenneng langlang

Ta’ kenneng langlang

Elang laonan

Compet bulan are seyang

Jagatnata badhi rabu

Dhari mata dhika elang

Para’ seyang gante laggu

1967

PARA’ SEYANG

Para’ seyang sengko’ jaga

Abareng kongko’na ajam

Ajam dibi’ ban tatangga

Nongko’ e bungkana gajam

Kongko’na patang sambit

Kukkurunno’..... kukkurunno’

Are ngorno’ .... are ngorno’

Ngajak aba’ duli bngket

Eselselle adan sobbu

Nyebbut asmana allahu

Dhari masjit dhari langgar

Padha moji allahu akbar

1987

KEMBHANG MALATHE

Tang malathe molae ngembang

Badha se mekko badha se mekkar

Tombu e seddi’na labang

Patamanan arum sekkar

Ro’om asreddhengngan

Mossa’e patamanan

Bernana pote tor ngetthak pole

Sengko’ senneng tor komenak pole

Sekkar pote

Epetthega

Sasemba’an

Dha’ tresna ate

1987

BA’ PONAPA SE E BALESSAGIYA

Tamba taon aba’ tamba dibasa

Aba’ apangrasa

Ja’ pamertena rama ebu

Sanget taronggu

Naleka aba’ gi’ kanak

Ta’ essa eopene

Ta’ metong baras tor sake’

Eburuk tengka beccek

Kapprana odhi’ neng e dunnya

Apol-kompol bi’ sa-sama

Sopaja aba’ ta’ malang sara

Arompak pakonna allah

Adu rama, adu ebu

Ba’ ponapa se ebalessagiya???

1987

DHU’ REMMEK

Bang gaddhing

Ekolpat gan salambar

Abarbar

Bang malathe

Gan sabulir

Ejirjir

Pote mekko

Dhu’ remmek eceyom

Ro’om

Dhu’ remmek esergu’

Nagguk

Mabiluk rengsana ate

Man-ngoman

Ta’ nyaman

Ceyerran

Marepot pekker

Gan salambar

Gan sabulir

Elop

Lo’lo’ alerok

Gan salambar gaggar

Gan sabulir ale’jir

Katopowan abu

Pekkerra pakebu

1987

ASARE PANGLEPORRA ATE

Aba’ atendak, dhu.... me’ sajan jau

Jang-bajangan lobar esergu’ pettengnga malem

Areng-ngereng bi’ dhatengnga rese’

Katonna nanemang dha’ ka aba’

Tembang kasmaran akanthe’ kejung ram-eram

Poncana sagara esareya, dhu e dhimma enggunna

Aba’ ngalosot e cellana bato karang

Ekaloskos omba’ se nambek ka gir sereng

Aba’ nyacak alembak kadibi’an

Nangeng, dhu, seppe

Me’ ce’ rengsana ate

Dhu langnge’ ban bume

Ba’ edhimma tresnana ate se tasangsang

Aba’ asare jemjemma sokma

Badhi panglepor pekker se rengsa

1987